Referat DBD

BAB I PENDAHULUAN

Dengue adalah infeksi yang ditularkan oleh nyamuk dimana dalam dekade terakhir menjadi masalah kesehatan publik secara internasional. Dengue ditemukan di daerah tropik dan sub-tropik di seluruh dunia, secara predominan di daerah urban dan semi-urban.

Demam Berdarah Dengue (DBD), satu komplikasi potensial, pertama kali ditemukan pada tahun 1950an dalam epidemi dengue di Filipina dan Tailand. Pada hari ini, DBD ditemukan hampir di seluruh negara Asia dan telah menjadi penyebab utama perawatan di rumah sakit dan kematian anak di daerah tersebut.

Terdapat empat tipe virus yang berhubungan erat yang dapat menyebabkan demam dengue. Penyembuhan dari infeksi akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap tipe virus tersebut tetapi hanya proteksi sebagian dan sementara untuk ketiga tipe lain virus pada infeksi selanjutnya. Terdapat bukti yang menyatakan infeksi sekuensial meningkatkan resiko berkembangnya DBD.

BAB II DEMAM BERDARAH DENGUE

Virus Dengue
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.[1]

Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.[1]


Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. [1]
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.[1]
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.[1]

Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.[2]
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. [2]
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian. [2]
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris. [2]

Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody response
Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin ↑
Permeabilitas kapiler ↑ Ht ↑
> 30% pada Perembesan plasma Natrium ↓
kasus syok 24-48 jam
Hipovolemia Cairan dalam rongga
serosa
Syok
Anoksia Asidosis
Meninggal
Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD[2]

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. [2]

Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus Anamnestic antibody
Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran Pengeluaran Aktivasi faktor Hageman
trombosit oleh RES platelet faktor III
Anafilatoksin
Trombositopenia Koagulopati Sistem kinin
konsumtif
Gangguan Kinin Peningkatan
fungsi trombosit penurunan faktor permeabilitas
pembekuan kapiler
FDP meningkat
Perdarahan massif syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD[2]

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.[1]

Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).[1]

Bagan 1
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue[2]

Infeksi virus dengue

Asimptomatik Simptomatik

Demam tidak spesifik Demam dengue

Perdarahan (-) Perdarahan (+) Syok (-) Syok (+)
(SSD)

Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD) yang disertai dengan perdarahan harus dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.[1]

Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. [2]
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi. [2]
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok. [2]
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok. [2]
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi: [2]
• Demam atau riwayat demam akut, antara 2 – 7 hari, biasanya bifasik
• Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
• Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
• Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.[2]

Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit <100.000/µl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral. [1]

Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. [1]
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati. [1]

Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue): Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut: nyeri kepala, nyeri belakang mata, mialgia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji HI ≥1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection.
2. Confirmed DBD (Pasti DBD): Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan titer antibodi >4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi virus.

B. Secara Klinis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa:
• Uji tourniquet positif
• Petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia <100.00/µl.
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan:
• Peningkatan nilai hematrokrit ≥20 % dari nilai baku sesuai umur dan jenis kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit ≥20 % setelah pemberian cairan yang adekuat.
• Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi <20 mmHg, perfusi perifer menurun.
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.[1]

0 komentar  

Referat AML

BAB I
PENDAHULUAN

Leukemia mieloid (mielositik, mielogenous, mieloblastik, mielomonositik, non-limfositik) akut (LMA) adalah penyakit yang bisa berakibat fatal, dimana mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. Apabila tidak dilakukan upaya pengobatan, penyakit ini akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa minggu sampai bulan setelah diagnosis.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi dan semakin meningkat sejalan dengan usia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus leukemia dengan jumlah kasus sebanyak 7.000 kasus yang terjadi setiap tahunnya. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada dewasa (85%) dari pada anak (15%).
Penyebab LMA belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang dapat menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor predisposisi LMA pada populasi tertentu diantaranya paparan benzene (suatu senyawa kimia yang banyak digunakan pada industri penyamakan kulit), paparan radiasi ionik dosis tinggi serta kelainan kromosom.
Pengobatan LMA sampai saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebelum tahun 1960-an pengobatan LMA terutama bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40 tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini bisa dicapai karena regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang lebih baik seperti anti biotik generasi baru dan transfusi komponen darah untuk mengatasi efek samping pengobatan. Selain itu kemajuan dalam teknik diagnostik yang lebih baik yaitu dengan cara immunophenotyping dan analisis sitogenetik dapat menghasilkan diagnosis yang lebih akurat.


untuk file selengkapnya dapat menghubungi saya di adw_fk05@yahoo.co.id

0 komentar  

PENYAJIAN KASUS HIDROSEFALUS

PENYAJIAN KASUS
Kasus 1
I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : By. SN
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 4 bulan
Alamat : Desa Rantau Panjang, Kec: Simpang Hilir, Kab: Kayong Utara
Agama : Islam
Suku : melayu
Nomor RM : 692874
Tanggal Masuk RS : 22 Juli 2010
Berat badan : 8,6 Kg

Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien pada tanggal 30 Juli 2010, pukul 09.30 WIB
Keluhan utama
Kepala membesar sejak 2 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang
Orang Sakit (OS) mengalami pembesaran kepala sejak 2 bulan yang lalu. Kepala membesar perlahan-lahan dengan bentuk berbenjol pada bagian atas dan dahi. Kepala membesar diawali di bagian dahi dan diikuti dengan bagian yang lain. OS tidak pernah mengalami demam, kejang, batuk, pilek maupun mencret-mencret sebelumnya. OS juga tidak pernah muntah. Gerakan kedua tangan dan kaki baik. OS buang air kecil 6-7x sehari dan buang air besar 2-3x sehari. OS sudah dirawat selama seminggu di RS Agoes Djam, tetapi tidak ada perbaikan kemudian OS dirujuk ke RS dr. Soedarso, Pontianak.

Riwayat Kehamilan
Pada saat hamil, Ibu OS memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas sebanyak 6 kali. Riwayat sakit pada saat hamil disangkal.

Riwayat Kelahiran
OS lahir normal, di rumah, ditolong dukun,cukup bulan dan langsung menangis. Berat badan lahir 4 kg, sedangkan panjang badan dan lingkar kepala tidak diukur.

Riwayat Perkembangan
Sampai saat ini OS hanya bisa baring terlentang, belum bisa memiringkan tubuhnya. Saat diajak bermain, Os juga tidak memberikan respon.


II. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 30 Juli 2010)
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : kompos mentis
Panjang badan : 65cm
Berat Badan : 8,6 kg
Lingkar Kepala : 67cm
Status gizi : tampak kurus
Nadi : 102x/ menit, teratur, isi cukup
Nafas : 46x/ menit, teratur
Suhu : 36,60C
Kepala : tampak membesar, asimetris, berbenjol pada bagian parietal dan frontal. Ubun-ubun besar menonjol, terbuka. Sutura melebar, Pada benjolan teraba fluktuasi, Perkusi: cracked pot sign.
Mata : Mata kearah bawah (sunset phenomena), konjungtiva pucat -/-, sklera tidak ikterik. Pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+. Nistagmus -/-.
Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret (-)
Mulut : tidak ada kelainan (TAK)
Leher : TAK
Thorak : bentuk dan gerak simetris
Paru : sonor, suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)
Jantung : bunyi jantung I/II tunggal, reguler.
Abdomen : perut datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) Normal
Anus dan Genitalia : TAK
Ekstremitas : gerak aktif, akral hangat, capilary refill <2”


Status Neurologik
• PCS 15, E4M6V5
• Tidak ada gerakan abnormal
• Kepala : tampak membesar, asimetris, berbenjol pada bagian parietal dan frontal. Ubun-ubun besar menonjol, terbuka. Sutura melebar, Pada benjolan teraba fluktuasi, Perkusi: cracked pot sign. Mata: kearah bawah (sunset phenomena), konjungtiva pucat -/-, sklera tidak ikterik. Pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+. Nistagmus -/-.
• Sikap leher statis, bisa memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan
• Kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal tidak ditemukan
• Nervus kranialis: sulit dinilai

• Motorik: Kekuatan : 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 5
Tonus : N N
N N

• Sensorik: Eksteroseptif: - Ekstremitas atas: baik
- Ekstremitas bawah: baik

• Refleks fisiologis: bisep (+/+)
trisep (+/+)
patella (++/++)
• Refleks patologis: Babinsky (-/-),
• Otonom : BAK dan BAB baik

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium ( hasil pemeriksaan tgl 24 Juli 2010)
Hb : 13,3 g/dL
Ht : 40,7 %
Leukosit : 11.700/µL
Trombosit : 602.000 /µL
Pemeriksaan Photo torak : Jantung dan Paru tak tampak kelainan









Pemeriksaan CT-Scan Kepala
- tampak pelebaran berat ventrikel kana-kiri dan ventrikel III
- tampak massa di ventrikel IV dengan pelebaran fosa posterior
- tampak LCS mendesak 5cm area ventrikel lateral kanan
kesan: hidrosefalus berat dengan pelebaran fosa posterior (sindrom dandy walker) + massa di ventrikel IV




















IV. DIAGNOSIS
Hidrosefalus non komunikan dengan tumor otak

V. PENETALAKSANAAN:
Non-Operatif : ceftriaxon 1x250 mg.
Operatif : pemasangan VP Shunt (Konsul Spesialis Bedah Saraf)

VI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam :ad malam
Ad sanationam :ad malam

0 komentar